BICARA mengenai layar tancap, tentu cukup asing di telinga para muda-mudi generasi milenial. Tak banyak dari mereka yang mengetahui secara pasti seperti apa layar tancap. Padahal, layar tancap pernah menapaki kejayaannya pada era tahun 1970 hingga 90-an.
Layar tancap merupakan tontonan bagi kaum marginal di era keemasannya. Kala itu, bioskop keliling ini sangat digemari masyarakat, khususnya kaum muda mudi yang menjadikannya sebagai tempat kumpul dan bercengkrama.
Layar tancap pertama kali dikenal di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Hiburan yang menyajikan pertunjukkan film tersebut pun dijadikan sebagai alat propaganda bagi para penjajah untuk bisa menduduki Indonesia, sekaligus media penyuluhan penyakit yang sempat merajalela di nusantara kala itu.
Setelah Indonesia merdeka, layar tancap tetap jadi primadona. Layar tancap menjadi salah satu media promosi film-film Indonesia. Beragam film action, komedi hingga horor disajikan via layar tancap dari kota-kota hingga pelosok desa. Layar tancap juga sering dijadikan salah satu media sosialisasi program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana.
Bahkan, kesohoran layar tancap juga mengudara hingga ke mancanegara. Di negara AS, layar tancap bahkan diaplikasikan dalam bioskop berbentuk drive in theater. Para penonton bisa menyaksikan layar tancap dari dalam mobil mereka.
Ketua Persatuan Film Keliling Indonesia (Perfiki), Sonny Pudjisasono mengatakan, saat layar tancap masih berjaya, para pengusaha layar tancap menggunakan seluloid film yang berukuran besar untuk menampilkan tayangan film. Kualitas gambar yang dihasilkan pun masih gelap dan terpotong-potong.
“Dulu masih pakai seluloid, kualitas gambarnnya masih kurang bagus. Aktor Barry Prima di bioskop gedung itu rambutnya pendek, kalau sampai di layar tancap jadi panjang. Karena kopi film seluloidnya banyak yang rusak,” ujar Sonny kepada Okezone, Senin, 10 April 2018 lalu.
Memasuki tahun 1997, gempuran digitalisasi mulai terasa. Bioskop gedung mulai mengganti seluloid film menjadi proyektor digital. Sejak saat itu, perlahan layar tancap mulai ditinggalkan.
Masa keemasan layar tancap kini berangsur pudar, tergerus oleh gempuran digitalisasi. Teknologinya yang lawas, tak lagi dilirik para sineas muda yang lebih memilih format digital. Perlahan tapi pasti, format film 35 mm itu ditinggalkan para penggemarnya terdahulu, seiring beralihnya industri perfilman dari bisnis ini.
“Orang nonton layar tancap itu yang dibeli suasananya. Ini jadi sarana aktualisasi bagi masyarakat yang tidak bisa ditemukan di sarana hiburan moderen lain seperti bioskop di gedung apalagi nonton film di rumah,’ tutur Sonny.
Meski demikian, nyatanya masih ada segelintir orang yang tetap mempertahankan tradisi kuno ini. Bagi mereka, kecintaan terhadap layar tancap, membuat gairah kembali dipacu demi melestarikan kebudayaan yang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda itu.
Layar tancap tak mati, hanya saja sekarang pangsa pasarnya bergeser ke pinggiran. Pengusaha layar tancap yang masih tersisa kini menyasar desa-desa pinggiran terutama di Pulau Jawa, memberi hiburan bagi masyarakat-masyarakat yang masih jauh dari akses bioskop.
“Selebihnya mereka menawarkan paket pertunjukkan untuk acara hajatan pernikahan atau khitanan. Kalau enggak disiasati begini, pasti layar tancap sudah punah,” tandasnya.
Artikel Asli